Surabaya, (shautululama) —Ulama Jawa Timur tak tertinggal menyikapi kehadiran pemimpin baru Indonesia. Agenda Multaqa Ulama Aswaja Jawa Timur mengangkat tema “Menyongsong Indonesia Baru, Saatnya Membuang Komunisme dan Demokrasi”, Ahad (3/11/2024). Kehadiran ulama kharismatik dan sepuh menambah acara khusyu’ dan panas dengan nuansa perjuangan.
Hadir KH. Thoha Cholili, Kyai Laode H Elyasa, Kyai Abdul Aziz, Dr. KH Fahrul Ulum, Kyai Abu Wafa Romli, Kyai Sholahudin Fatih, KH M. Asrori Muzakki, Kyai Zainullah Muslim, dan lainnya.
Almukarrom KH Toha Cholili, Ulama Aswaja Jawa Timur, didapuk menjadi sohibul bait. Beliau mengatakan agenda ini mengisi khazanah Islamiah yang terutama menjadi kewajiban ulama.
“Sungguh yang sangat ditunggu semua pemikiran dan panutan. Tidak perlu heran dengan tontonan demokrasi yang malah aparat hukum tidak bisa memberikan keadilan. Ekonomi justru merugikan dan memeras umat,” bebernya.
Kyai Toha Cholili menggambarkan fase dakwah Rasulullah. 13 tahun memantapkan tauhid dan membina akidah di Makkah. Setelah itu hijrah terdapat ahkam ibadah, puasa, zakat, haji, jinayat, dan muamalah.
Berkaitan dengan kehadiran ulama di Multaqa Ulama Aswaja, Kyai Toha menambahkan jika kehadiran bukan hanya omon-omon. kita datang ke sini meluangkan waktu meluangkan pemikiran, harta, dan tenaga bahkan mental.
Bahkan, Kyai Toha meminta peserta untuk mengabaikan orang yang mengatakan ini hanya omon-omon, tidak ada kerja nyatanya, tidak ada bukti nyatanya, hanya bicara.
“Kalau hanya bicara, mengapa mereka itu membatasi gerak, membully, dan menuduh omon-omon?” tanyanya kyai yang juga cucu syaikhona Cholil Bangkalan.
Terakhir beliau mengingatkan untuk menjadikan bekal ketaatan kepada Allah. Serta risau untuk umat dan bangsa, supaya umat Rasulullah ini betul-betul menjadi umat terbaik seutuhnya.
Kyai Laode Heru Elyasa, Ulama Aswaja Jawa Timur, menceritakan pertemuannya bersama kyai. Beliau mengungkapkan kyai dan ulama terpetak-petak dalam dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Menjadi tanggung jawab bagi para ulama yang selama ini mendukung presiden terpilih untuk menagih janji. Melalui pemimpin yang terpilih diharapkan kepentingan-kepentingan umat Islam itu bisa diperjuangkan,” pesannya ke ulama lainnya.
Ada pertanyaan unik dalam diskusi yang disampaikan Kyai Heru berkaitan pertanyaan di mana posisi Indonesia ketika diterapkan syariah Islam.
“Kalau kita kembali ke arah yang lebih belakang. Kita sudah punya pengalaman ganti-ganti rezim, bahkan ganti-ganti sistem. Di Jawa Timur terdapat banyak kerajaan yang mengatur bergantian. Faktanya, sekarang masih ada Singosari, Kediri, dan Mojokerto,” singgungnya.
“Perjuangan arek-arek Suroboyo, Jawa Timur, melawan penjajah itu semuanya masih lekat dengan perubahan Islam. Itu hasil dari tasqif pembinaan yang dilakukan oleh para ulama. Kita tidak melihat bahwasanya perjuangan di Jawa Timur itu hasil dari perlawanan dari semangat Kerajaan Mojopahit, Panjalu, Singosari dan seterusnya,”tambahnya.
Kyai Heru kembali menegaskan warisan umat ini adalah warisan dari ulama yang terdahulu. Sehingga Jawa Timur itu mempunyai hutang budi kepada umat Islam dan Ulama.
“Kalau kita tidak memperhatikan peran para ulama, maka ini adalah ahistori. Ini sudah di luar daripada sejarah,”paparnya.
Menjadi hal yang menarik untuk direnungkan, kyai Heru, mempertanyakan gonta-ganti presiden tidak otomatis menjadi lebih baik. Bisa jadi tetap sama dan seperti yang sudah-sudah.
“Apakah kemudian kaum muslimin para ulama masih mempertahankan sistem demokrasi? Malahan demokrasi ini telah menyibukkan umat Islam ini dari urusan yang utama yaitu untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT yang dicontohkan oleh Nabi yaitu Khilafah” ingatnya.
Kami sangat yakin, tambah kyai Heru, bahwasanya para ulama di Jawa Timur tidak pernah terbelokkan oleh isu-isu apapun dari gawainya demokrasi. Perjuangan menegakkan hukum-hukum Allah pasti akan mendapatkan Pertolongan Allah SWT.