
Surabaya (shautululama) – Akhir ini ada istilah Tapera dalam PP no 21 tahun 2024 mengatur tentang perubahan atas PP no 25 tahun 2020 tentang penyelenggarakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang berlaku untuk seluruh pekerja di BUMN, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan perusahaan swasta.
Bahkan Pemerintah juga sedang mengkaji kemungkinan memberlakukan pungutan ini untuk para driver ojek online. Pungutan sebesar 3% ini dinilai akan menjadi beban tambahan bagi pekerja dan pengusaha. Ini karena pungutan Tapera 2,5% ditanggung pekerja, sedangkan 0,5% dibayar pengusaha.
Pasal 5.5 Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.
Pasal 7 Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a meliputi:
a. Calon Pegawai Negeri Sipil;
b. Pegawai Aparatur Sipil Negara;
c. Prajurit Tentara Nasional Indonesia;
d. Prajurit siswa Tentara Nasional Indonesia;
e. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
f. Pejabat negara;
g. Pekerja/buruh badan usaha milik negara/daerah;
h. Pekerja/buruh badan usaha milik desa;
i. Pekerja/buruh badan usaha milik swasta; dan
j. Pekerja yang tidak termasuk pekerja sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i yang menerima Gaji atau Upah.
Polemik Tapera sebenarnya sudah bergulir sejak pemerintah mengeluarkan PP no. 25 2020 menjadi pembicaraan setelah dirubah menjadi PP no. 21 tahun 2024, meski beberapa besar tidak berubah namun tetap ada pemotongan 3 % bagi pekerja untuk Tapera yang membebani rakyat. Program ini diluncurkan untuk memenuhi kebutuhan bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.
Namun kebijakan tersebut ditentang oleh banyak pihak terutama oleh para pekerja. Mengapa ditolak karena:
pemotongan 3% dari gaji, akan mengakibatkan gaji yang diterima akan berkurang. Apalagi sebelumnya sudah dipotong Pajak Penghasilan (PPH), pungutan untuk BPJS Ketenagakerjaan, jaminan hari tua 2%, jaminan kematian 0,3 % dan sebagainya. Belum lagi kebutuhan hidup yang kian meroket, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah naik menjadi 11% dan akan kembali naik menjadi 12% pada awal tahun 2025.
Presiden Jokowi juga baru saja menyetujui kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang otomatis menambah beban pengeluaran warga. Tarif PDAM dan Listrik naik ugal ugalan plus bahan bahan yang melonjak tak terjangkau. Pemerintah hanya bisa memotong tanpa mau tahu kesulitan yang dihadapi masyarakat.
Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga merasa keberatan. Pungutan sebesar 3% ini dinilai akan menjadi beban tambahan bagi pekerja dan pengusaha. Presiden Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (DPP ASPEK Indonesia), Mirah Sumirat mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah karena menerbitkan kebijakan yang mempengaruhi penghasilan kaum pekerja tanpa melibatkan pekerja itu sendiri.
Karena berpotensi menjadi lahan baru korupsi, tampaknya pemerintah tidak belajar, korupsi Asabri, jiwasraya, Taspen, aboradulnya lembaga negara tesebut semestinya itu menjadi pelajaran. Bukan malah membuka peluang baru untuk dikorupsi. Iuran tapera diwajibkan dan menyiapkan sanksi bagi yang mankir. Ini membuat kecurigaan apa benar negara menjalankan amanah. Ketua Asosiasi Serikat Pekerja kewajiban tapera membuat pemerintah seakan ingin mengumpulkan uang rakyat dan perutukannya tidak jelas. Penolakan ini muncul karena kepekaan dan kepedulian penguasa minim, namanya menabung tidak dipaksa dengan main potong gaji, tanpa permisi, dan diskusi main atur, main paksa, main sunat gaji.
Seharusnya negara tahu diri atas beban rakyat dan kesulitan rakyat, rakyat sudah pontang panting untuk memenuhi hidup, tidak ada jaminan kesejahteraan dari negara. Kebijakan Tapera membuktikan negara melepas tanggung jawab untuk menyediakan papan bagi masyarakat.