Khilafah Ajaran AswajaKhilafah Bisyaroh RasulullahKhilafah Janji AllahMultaqa Ulama Aswaja Manhaji

Multaqa Ulama Aswaja Surabaya Jatim, Jebolnya Data Nasional Bukti Rasa Aman Semakin Sulit di Negeri Kita

Surabaya, (shautululama) – “Bahwa pelindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang merupakan bagian dari pelindungan diri pribadi dan ditujukan untuk menjamin hak warga negara atas pelindungan diri pribadi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat serta menjamin pengakuan dan penghormatan atas pentingnya pelindungan data pribadi”, demikian disampaikan Ustad Muhammad Rif’an dari MT Khoiru Umah, pada Multaqo Ulama Aswaja Surabaya.

Sebagaimana diketahui dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia sering mendapatkan serangan siber dari oknum kejahatan siber yang mengakibatkan kebocoran data pribadi dari beberapa platform yang ada di Indonesia.

Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah menyatakan bahwa pengaturan data pribadi saat ini terdapat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, maka untuk meningkatkan efektivitas dalam pelaksanaan pelindungan data pribadi, Presiden Jokowi telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi pada tanggal 17 Oktober 2022. Yang kemudian berlaku pada tahun 2024.

Walaupun sudah ada UU Perlindungan Data Pribadi tetapi masih terjadi fenomena bocornya data nasional, itu sangat mengerikan sekali. Bahwa membocorkan rahasia negara, yakni data nasional kepada pihak asing merupakan tindakan pengkhianatan, yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab memberikan jalan pada musuh-musuh Islam untuk menguasainya. Beredar juga teori konspirasi jika data itu dijual, atau ada orang dalam melakukan pembocoran.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) diduga menjadi korban kebocoran data. Sejumlah data kementerian, mulai dari data NIK hingga akun bank diretas dan dijual di situs ‘gelap’ (BreachForums).
Dugaan peretasan tersebut diungkap oleh akun yang rutin mempublikasikan bocoran-bocoran data, @FalconFeedsio. Ia mengunggah narasi soal peretasan serta tangkapan layar dari Breachforums.

Unggahan ini menyebut data-data Kominfo periode 2021 hingga 2024 yang didapatkan dari Pusat Data Nasional (PDN) tersebut dijual dengan harga US$121 ribu atau sekitar Rp1,98 miliar. (Baca artikel CNN Indonesia “Data Diklaim dari PDN 2021-2024 Dijual Rp1,98 M di Forum Gelap”)

Point yang kedua adanya Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia menjadi sorotan. LBH Pers dan AJI Jakarta menilai revisi UU Penyiaran ini akan membawa masa depan jurnalisme di Indonesia menuju masa kegelapan.

Salah satu hal krusial dalam revisi undang-undang ini ialah Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI yang tumpang tindih dengan Dewan Pers.

Sebagaimana yang terdapat pada draf tertanggal 27 Maret 2024, revisi UU Penyiaran tersebut secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum. Negara, dalam hal ini Pemerintah, kembali berniat untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga negaranya. Hal ini tentu tak hanya berdampak pada pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers, tetapi juga pelanggaran hak publik atas informasi.

Kita harus terus menyuarakan kebenaran, kita tidak boleh pupus dengan apa yang mereka lakukan, lalu solusinya bagaimana, kita harus kembali pada apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Bagaimana terkait dengan metode pembagian informasi kita mengenal ulumul Qur’an dan ulumul Hadits yaitu Riwayah dan Dirayah.

Riwayah berkaitan dengan tranmisi berkaitan dengan siapa subyek sebagai pelaku penyebar Informasi (seperti Perss) dan transmisi informasi orangnya harus dhabit, pinter dan seterusnya. Kemudian ada visi dirayah, kontenya harus update, yang ma’bul, yang syar’i, sehingga harus kita lirik kembali berkaitan dengan apa jurnalis yang Islami atau jurnalisme preventif sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW sehingga media harus tsiqah dan dhabit.

Jika berita itu tidak bisa dipercaya sumbernya, tranmisinya, kontenya maka kita bisa menolak. Kita melakukan pembersihan news (pemilihan), apalagi kita sebagai aktivis intelektual, sehingga harus hati-hati untuk melakukan klarifikasi berita yang bersliweran. Sehingga kita benar-benar menyortir, kita saring sebelum kita sharing. Kita juga melakukan cek and balance. Sehingga kita harus hati hati karena secara hukum, bersosial media sama dengan berinteraksi secara nyata.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button