Madura, Jatim (shautululama) —Multaqa Ulama Aswaja Jawa Timur begitu spesial. Merespon gonjang-ganjing politik ulama Aswaja mengangkat tema: “Demokrasi Rusak Parah, Mengikuti Partai Oportunis Ataukah Jamaah Ulama? Menuju Islam Kaffah Dan Khilafah”, Ahad (25/8/2024).
KH Toha Cholili, ulama Aswaja Jawa Timur, memberikan sambutan hangat. Kehadiran ulama’, tokoh, dan asatidz dalam halaqatul zikr. Majelis mengingat Allah dan menghidupkan ilmu Allah.
“Mudah-mudahan antum minal ulama minal qaidin dari panutan dijadika Allah sebagai simpul dan simbol. Karena ulama itu terdapat simbol auli’allah termasuk para syuhada’,” tuturnya pada sambutan sebagai sohibul bait.
“Tugas ulama sebagai pewaris nabi yaitu berdakwah menyampaikan kalamullah. Kemudian megembalikan tauhidullah. Maka patutlah kita bersyukur,” sambungnya mengingatkan.
Bersamaan dengan momentum Agustus, sekaligus beberapa peristiwa nasional, Kyai Toha menyerukan jika merdeka itu berarti negara mempunyai hukum sendiri dan bebas dari belenggu.
Tambahnya, “Memberikan pencerahan bukan saja mengenal Allah, aqidah, ubudiah, muamalah, tetapi juga memeluk agama ini dengan kaffah tidak sebagian-sebagian.”
Pesan penting dari Kyai Toha agar umat dan ulama menjadi yang dirindukan oleh Rasulullah SAW.
“Mereka tidak bertemu dengan Rasulullah. Mereka tidak langsung beriman di hadapan Rasulullah. Mereka tidak mendapatkan apa yang disampaikan langsung Rasulullah, tetapi mereka betul-betul berpegang teguh pada sunnah Rasulullah.”
Kyai Laode Heru Elyasa, sohibul hajah, menyeru ulama untuk bicara dalam forum pengajian dan khutbah terkait persoalan bangsa. Harapannya loyalitas para ulama yang akan memimpin perubahan ke depan.
Kyai Heru bercerita terkait ulama yang mendukung salah satu capres pada pilpres. Ketika itu ramai ke jalur hukum, tiba-tiba partai pendukung merapat ke pemenang pilpres. Beliau mengibaratkan ayam jago itu ayamnya masih berdarah-darah, tapi yang punya jagonya sudah ke lain hati.
“Akhirnya kyai menyadari dibohongi. Ulama harus memiliki sikap bahwasannya ulama saat ini tidak bisa dipakai, tetapi ulamalah yang harus memimpin perubahan,” tandasnya.
Kyai Heru mengetengahkan PP 28 Tahun 2024 terkait upaya pemberian kontrasepsi. Ini artinya akan menyuburkan perzinahan. Beliau juga mengajukan pertanyaan kepada peserta.
“Apakah DPR bersuara? Tidak. Apakah bisa parpol yang ada di DPR berusaha melindungi moral generasi kita? Tidak.”
Kyai Heru menambhkan kalau ulama ingin memperjuangkan Islam sudah tidak tepat menggunakan jalur DPR. Ulama harus amar ma’ruf nahi munkar.
Sementara itu, “Demokrasi yang berkuasa itu adalah kedaulatan di tangan rakyat. Demokrasi tidak bisa diletakkan dalam konsep Islam. Karena dalam demokrasi itu kedaulatan di tangan rakyat dan hawa nafsunya. Sementara dalam Islam kedaulatan di tangan Allah SWT yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun.”
“Ternyata yang membahayakan demokrasi bukan Hizbut Tahrir. Justru Presiden sendiri. Hizbut Tahrir hanya menyampaikan pemikiran. Sementara Presiden sudah pada kebijakan. Siapa yang lebih radikal? Siapa yang lebih berbahaya?” tanyanya retoris.
Harapannya melalui multaqa ini ulama mempunyai sikap akan bisa memberikan perubahan dan didengar oleh istana. Turut juga hadir ulama Aswaja yaitu Kyai Abdul Aziz, Ust. Achmad Fachruddin, Ph.D, Ust. Slamet Sugianto, KH. Moch. Asrori Muzakki, dr. Muhammad Amin SpMk. MKed. Klin, Ky. Sholahudin Fatih, dan Ky. Zainullah Muslim.[hn]