Surabaya, (shautululama) —Tak cukup hanya dengan seruan biasa. Koreksi terhadap kebijakan keliru penguasa harus disuarakan untuk meluruskan arah yang salah. Kemunculan penolakan Tapera serta kurikulum yang masuk ke dunia pendidikan mendapat respon dari alim ulama, asatidz, habaib, dan tokoh umat pada Ahad (30/6/2024).
Multaqa Ulama Aswaja Jawa Timur berhasil menghimpun cahaya umat. Mengangkat tema “Tapera serta Kurikulum Cabul dan Kekerasan, Bukti Nyata Kedzaliman dan Penghancuran Moral ala Demokrasi”. Kehadiran Kyai Laode H. Elyasa sebagai sohibul fadhilah memberikan pengantar yang luar biasa.
Tampak juga KH Toha Cholili, KH Kamil Sutatista, Kyai Abu Zaki, Kyai Abu Inas, Kyai Dr. N Faqih Syarif, Kyai Abdussalam, Kyai Azizi Fathoni, Kyai Dr. Fahrul Ulum, Kyai Sholahudin Fatih, Kyai Ahmad Jauhari, dan Kyai Sepuh Zaenullah Muslim.
KH Toha Cholili memberikan sambutan awal. Beliau menilai tugas ulama dalam memberikan penyampaian. Jangan sampai terkategori munafik tatkala sengaja untuk tidak meluruskan (kebijakan salah dari penguasa).
“Tugas ulama bukan menentukan kebijakan atau cawe-cawe kebijakan, tetapi menyampaikan risalah ketika penentu kebijakan menentukan yang akan dititahkan. Maka tugas ulama sebagai pewaris Rasulullah memberikan pencerahan.”tandasnya.
KH Toha berterima kasih kepada alim ulama, asatidz, dan tokoh umat yang hadir.
“Kehadiran atas kepedulian ambil bagian tugas Rasul. Mudah-mudahan apa yang kita berikan berupa pemikiran, tenaga, bahkan waktu menjadi pengorbanan”,tambahnya.
Kyai Laode Heru Elayasa menguraikan tema Multaqa Ulama. Perihal Tapera yang tertuang dalam peraturan pemerintah PP No. 21 Tahun 2024 tentan perubahan atas PP nomor 25 tahun 2020.
“Kita garis bawahi UU Tapera hanya menyediakan payung hokum bagi pemerintah untuk mewajibkan negara menabung sebagian penghasilannya. Ini memang clear legal diteken oleh presiden dan disetujui oleh seuruh fraksi,”bebernya.
Tambahnya,”Siapa sebenarnya yang mengusung kebijakan ini sehingga merepotkan penduduk. Ternyata ditentang oleh masyarakat. Biang kerok dari semuanya itu adalah demokrasi. Kemudian partai politik yang duduk di DPR menjalankannya.”
Kerusakan kedua adalah kurikulum cabul. Kepala badan standar kurikulum dan asesemen pendidikan mengatakan tujuan dari program sastra masuk kurikulum untuk pembelajaran. Tujuannya meningkatkan minat baca, menimbulkan empati, dan mengasah kreatifitas, serta nalar kritis murid di jenajang SD, SMP, dan SMA/SMK.
“Artinya buku-buku yang di sana ada konten negative. Kemudian kita lihat bahwasanya demokrasi ini meghancurkan moral masyarakat. Sementara para ulama berusahan untuk memperbaiki demokrasi akan merampas harta umat ini secara legal, tetapi brutal. Kemudian partai politik diam saja,”bebernya Panjang.
Kemudian Kyai Heru menyerukan ulama wajib bersuara. Ketika diam berarti pengkhianatan. Maka alim ulama senantiasa berjuang menegakkan hukum Allah.
“Semua itu (masalah) bisa dihilanggak dengan penerapan syariah kaffah dan khilafah ala minhajin nubuwwah,”serunay di ujung pidato.
Acara ini berlangsung khidmat. Termasuk usaha ulama meluruskan pemahan keliru di tengah umat. Jelas ini bagian ulama yang rindu dan menyintai Allah Rasul-Nya. Mari berjuang bersama ulama ikhlas menegakkan kalimatullah.[hn]