Yogyakarta (shautululama) — Perumpamaan seorang tukang yang menolak membawa meteran (alat ukur), maka dipertanyakan ketukanganya. Begitulah perumpaan jika terkait seorang muslim menolak penerapan al-quran, maka dipertanyakan keislamannya.
Kyai Laode Heru Elyasa pada Multaqa Ulama’ Aswaja DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur membeberkan al-Qur’an sebagai meteran (tolok ukur). Acara itu dihadiri ulama, asatidz, habaib, dan tokoh umat dengan tema “Sengketa Demokrasi, Pelajaran Berharga untuk Kembali Kepada Syariat Allah. Khilafah Bukan Sekedar Kebutuhan, Tetapi Kewajiban”, Ahad (27/4/2024).
“Penyebab negeri ini terus bersengkata tujuh kali pilpres ya sengketa terus. Kapan selesai? Itu akan terus terjadi ketika umat Islam tidak berhukum kepada Allah. Betul nggih?” tanyanya retoris.
Kedua, lanjutnya, demokrasi itu dzalim. Karena menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Pertama, kedzaliman hamba kepada dirinya sendiri. Kedua, kedzaliman manusia kepada selainnya.
“Syirik itulah kedzlaiman yang paling besar. Secara hakikat menempatkan makhluk pada posisi Khaliq yang berhak menetapkan aturan,”terangnya.
Sebagaimana terjadi sebelumnya, praktisi mengatakan ada nepotisme terkait pencalonan pada pilpres. Sementara, MK mengatakan tidak terbukti nepotisme. Sengkarut inilah yang kemudian ulama Aswaja memberikan respon agar umat tidak terjebak dalam demokrasi yang menipu.
Sambung KH Rasyid Supriyadi, barangsiapa yang maksiat melanggar perintah Allah, sebenarnya dia telah melakukan kerusakan di muka bumi. Beliau mengungkap fakta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk kolongmerat.
Lanjut KH Asrori Muzakki menyerukan sebagai khoiru ummah maka aktifitasnya amar ma’ruf nahi munkar. Aktifitas itu akan bisa dijalankan secara maksimal dengan institusi penerap syariah yang berlandaskan aqidah Islam.
“Institusi itu bukan republik, bukan demokrasi, bukan sosialis komunis, tetapi khilafah ala minhaji nubuwwah,” tandasnya.
Kemudian dalam setiap pesta demokrasi umat Islam jadi objek penderita. Hanya diakal-akali jadi korban kebohongan partai sekuler. Keberadaan partai sekuler bukan dalam rangka mengembalikan izzul Islam wal muslimin.
“Kalau kita ingin menerapkan syariat dengan menitipkan kepada partai sekuler maka salah alamat. Kalau tidak mau dibohongi mari sama-sama menyamakan barisan dengan menyingsikan lengan baju memberikan dukungan partai yang konsisten menerapkan syariah khilafah,”pungkasnya.
Menarik pernyataan Kyai Utsman Zahid berkaitan pergiliran latar belakang presiden Indonesia. Mulai dari wong ndeso, militer, dan ulama’.
“Apa yang kita rasakan kedzaliman di mana-mana ternyata sumbernya dan pelakunya dari para penguasa. Apakah yang sudah berjalan seperti ini akan terus kita lanjutkan?” ujarnya.
“Kalau kita melanjutkan demokrasi ini, selamanya berjalan di tempat,” bebernya.
Harapan dari seruan ulama Aswaja ini umat kian fokus perjuangan penegakkan Syariah Khilafah. Umat tidak lagi mudah dibohongi. Kembali kepada Allah artinya kembali kepada al-qur’an dan sunnah. Serta meninggalkan ragam isme buatan manusia.[hn]